Mengapa Kover Buku Hukum Harus Keren?

Apakah Anda juga termasuk, mahasiswa hukum yang apabila membeli buku hukum, kover bukunya, kalau bukan simbol palu sidang yah timbangan keadilan?

Palu sidang dan timbangan merupakan dua bentuk simbol yang tidak dapat dilupakan begitu saja oleh mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu hukum. Simbol ini merupakan identitas bagi mereka yang belajar dan mendambakan keadilan. Sebagai simbol yang identik, maka penggunaannya pun kerap ditemukan dalam logo lembaga, stempel, surat, poster kegiatan, hingga ilustrasi kover buku.

Dua simbol ini cukup familier kita temukan di kover buku-buku hukum. Jika Anda melakukan penelusuran ‘gambar’ di browser dengan keywords ‘kover buku hukum’, Anda akan menemukan sebagian besar kover menggunakan dua simbol tersebut.

Penggunaan dua simbol ini telanjur berlebihan. Palu sidang dan timbangan yang lazim terilustrasi di kover buku hukum seakan tidak memberikan pilihan pada bentuk ilustrasi lain. Padahal kemajuan teknologi sekarang ini mampu membuat kita semakin kreatif. Kita dapat “berselancar” di media sosial mencari rujukan ilustrasi apa yang kira-kira menarik selain kedua pilihan tersebut.

Sebagai pembaca─sekaligus pembeli─buku hukum, pilihan terhadap sebuah buku hukum tentu bukan hanya soal isi, melainkan juga soal kover. Kover adalah hal pertama yang tertangkap oleh pandangan mata. Ilustrasi kover mampu memunculkan kesan subjektif kepada seorang pembaca/pembeli.

Kover mampu “menggoda” kekukuhan hati seorang pembaca/pembeli yang ingin membaca atau membeli sebuah buku. Kover memberi kita pilihan menarik, walaupun isi belum tentu menarik.

Kover buku merupakan proses kreatif paling akhir dari lahirnya sebuah buku. Setelah seluruh isi anatomi buku selesai dikerjakan barulah kover dipikirkan dan dikerjakan. Kover merangkum segala isi anatomi buku. Uraian yang begitu panjang dalam isi buku mampu dipadatkan oleh kover dalam bentuk ilustrasi.

Selain merangkum segala isi anatomi buku, kover juga dapat menjadi ruang pertemuan ide atau perasaan penulis kepada pembaca, semacam pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Kover adalah pintu masuk penjelajahan pengetahuan yang ada dalam isi buku.

Saya menyarankan contoh-contoh kover buku hukum keren yang harus Anda koleksi (bermula koleksi berakhir membaca, eyaa). Mulai dari kover buku hukum yang hanya berbentuk komposisi, gambar, hingga foto yang menarik.

1.     Komposisi

Jenis ilustrasi ini mengintegrasikan warna, garis, dan bidang guna mencapai keharmonisan. Tipikal jenis ilustrasi ini sudah jarang ditemukan pada bentuk buku-buku masa kini. Lazimnya tipikal ilustrasi ini dapat kita lihat pada jenis buku-buku hukum lawas yang sudah sangat sulit ditemukan di pasaran. Mungkin, karena kemajuan teknologi desain membuat jenis ilustrasi ini mulai ditinggalkan.

Buku pertama yang saya sarankan ialah buku dari Soerjono Soekanto, Edie T. Hendratno, dan TH. Sardjito yang berjudul “Antropologi Hukum; Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat”, diterbitkan pada tahun 1984 oleh CV Rajawali, Jakarta. Kover memadukan warna dasar biru tua dan motif garis biru muda yang ikonik. Perpaduan dua warna ini membentuk komposisi yang selaras.

Selanjutnya ada buku terang nan segar di mata, latar berwarna jingga, dengan paduan garis berwarna putih, hitam, merah, ungu, dan hijau yang membentuk lollipop. Setidaknya ada enam perpaduan warna di kover buku ini. Penggunaan banyak warna, tapi tidak norak. Buku dari Ronny Hanitijo Soemitro ini berjudul “Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri”, terbit tahun 1990, oleh penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

2.     Gambar

Jenis ilustrasi gambar di sini berupa coretan atau lukisan yang menyerupai objek nyata. Gambar merupakan tipikal ilustrasi yang paling diminati saat ini. Kemajuan teknologi desain telah memberi banyak pilihan gambar pada kover buku, selama itu tidak melanggar hak cipta.

Gambar kover pertama yang saya ajukan pada bagian ini adalah buku dari Andi Tarigan, yang berjudul “Tumpuan Keadilan Rawls”. Terbit pada tahun 2018 oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Ilustrasi sampul dikerjakan oleh Yosefine. Gambar berupaya memberi pembeda terhadap dewi keadilan yang selama ini kita kenal dalam dunia hukum sebagai sosok seorang perempuan yang matanya tertutup oleh secarik kain. Pada gambar kover Andi Tarigan ini, selain sosok perempuan, kita dapat pula menemukan beragam sosok laki-laki yang matanya ditutupi secarik kain berwarna merah. Kover buku ini berlatar putih, sehingga kesannya identik dengan bendera Republik Indonesia.

Gambar kover selanjutnya dari Peter Carey dan Suhardiyoto Haryadi, berjudul “Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia”. Buku terbit pada tahun 2016 oleh penerbit Komunitas Bambu, Depok. Buku ini sebetulnya lebih condong ke ilmu sejarah, tetapi karena pembahasannya fokus pada isu korupsi, maka buku ini sepertinya layak mendapat tempat dalam kajian ilmu hukum. Adegan gambar bercerita Pangeran Diponegoro marah dan menampar (menggunakan selop) Patih Yogya Danurejo IV yang munafik dan korup (sumber gambar: KITLV). Saya kasi bocoran isi buku ini, ada foto Akil Mochtar saat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, haha.

3.     Foto

Foto atau potret merupakan gambar nyata hasil tangkapan kamera. Saat ini, foto di kover buku, pun tidak sedikit yang menggunakan. Kemajuan mesin cetak untuk memvisualkan hasil jepretan menjadi satu alasan penulis dan penerbit memilih jenis ini.

Kover foto pertama ialah buku dari Soetandyo Wignjosoebroto yang berjudul “Hukum dalam Masyarakat; Perkembangan dan Masalah; Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum”. Diterbitkan oleh Bayumedia Publishing, Malang. Terbit pada tahun 2008. Kover memperlihatkan satu foto yang sama dibagi menjadi empat petak bagian. Foto menangkap satu peristiwa kerusuhan, antara barisan pendemo dan aparat kepolisian di garis depan. Hasil jepretan di kover buku ini: polisi kena tonjok?

Buku yang saya bagikan terakhir untuk Anda koleksi ialah buku dari Awaludin Marwan yang berjudul “Studi Hukum Kritis; Dari Modern, Posmodern hingga Posmarxis”. Buku diterbitkan oleh Thafa Media-Bantul bekerjasama dengan Satjipto Rahardjo Institute, Semarang. Terbit pada tahun 2012. Saya memilih kover ini karena memang keren, walaupun itu bertentangan dengan pengantar yang ditulis oleh Anthon F. Susanto dalam buku ini yang mengatakan “kemasannya biasa saja”. Saya memilih kover ini juga bukan karena penulisnya pemilik heylawedu.id, muehehe. Alasan memilih kover ini, karena kover ini memiliki makna yang kuat. Foto mendeskripsikan pendemo berhasil “menduduki” pagar (benteng pertahanan) lembaga pemerintahan (itu DPR?). Bentangan bendera-bendera, orasi, dan kepalan tangan kiri yang terangkat menjadikan “demokrasi” begitu hidup di kover buku ini.

Ilustrasi cukup penting bagi perkembangan dunia perbukuan. Sejarah mencatat dari tahun 1891 hingga tahun 1896 yang mana percetakan William Morris Kelmscott memublikasikan buku-bukunya dengan menggunakan teknik desain grafis. Morris mendapati, ilustrasi kover ternyata mampu mendogkrak penjualan buku.

Dengan kemajuan teknologi cetak saat ini, teknik desain grafis tentu dapat melipatgandakan hasil keuntungan penjualan buku. Hanya saja, buku-buku hukum dengan “kover yang itu-itu saja”, yang sudah sangat biasa, tampak wagu, dan tidak memberi rasa penasaran bagi pembaca/pembeli cukup membuat buku-buku hukum kurang diminati oleh pembaca/pembeli.

Apa karena alasan ini juga yang membuat buku-buku hukum tidak masuk ke daftar 10 jenis buku dari berbagai bidang ilmu yang laris terjual di TB Gramedia (data tahun 2014)?

Apabila oplah penjualan buku hukum biasa-biasa saja, maka persebaran pengetahuan hukum juga akan ikut melambat. Kurangnya minat pembeli terhadap kemasan buku hukum yang keren, tentu berpengaruh pula pada persebaran pengetahuan hukum yang lebih luas.

Pengetahuan hukum perlu disebar dengan kemasan yang menarik. Persebaran pengetahuan hukum ini penting guna menjangkau khalayak banyak. Dengan persebaran buku hukum yang lebih luas, maka semakin banyak orang yang melek hukum; setidaknya melek kover dahulu.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bola: Bermula Jumat, Berakhir Jumat

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang