Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Wilayah kekuasaan Iskandar Zulakrnain

Tentu kita pernah mendengar epos raja-raja adikuasa, menguasai tanah beserta yang tumbuh di atasnya. Sejauh mata memandang, begitulah ungkapannya. Para raja bisa memeperoleh melalui adu ketangkasan berburu, bertaruh atas tarung hewan peliharaan, hingga berbagai macam kebiasaan lainnya.

Kita tarik ke belakang, kira-kira tahun 300 SM. Saat itu, Yunani hancur lebur, dalam arti yang sebenar-benarnya. Konflik antara Athena dan Sparta, tidak terhindarkan, berlangsung lama, kini kita mengenal peristiwa itu dengan sebutan Perang Peloponesia.

Athena takluk, Sparta pemenangnya—tapi tak tahu harus berbuat apa atas kota taklukannya. Saking tak tahu mesti berbuat apa, suku-suku kecil dari Delfi menjarah dan menduduki Kuil Orakel, tempat suci Dewa Apollo yang masih merupakan wilayah Yunani. Orang Sparta berang, begitu pula dengan orang Athena, tapi mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka letih atas konflik berkepanjangan yang telah berlalu.

Orang-orang Makedonia (sebuah suku yang masih serumpun dengan Bangsa Yunani) mengambil kesempatan atas konflik di Yunani. Bala tentara Makedonia berhasil mengusir suku-suku kecil itu. Atas keberhasilannya, mereka menguasai Yunani. Rajanya yang bernama Filip, berusaha meyakinkan orang-orang Sparta dan Athena yang tersisa untuk membangun afiliasi besar, imperium Makedonia-Yunani. Tujuan imperium menaklukkan Persia. Tapi, ia mangkat sebelum perangnya dimulai atas Persia.

Anak Raja Filip yang masih berumur 20 tahun, menggantikan posisinya. Namanya Iskandar Zulkarnain—ada juga yang menyebutnya Alexander—murid Aristoteles yang masyhur itu. Ia mengumpulkan seluruh pemimpin Yunani di Korintus, membicarakan dan melanjutkan keinginan ayahnya, menaklukkan Persia. Bisa dikatakan, Iskandar adalah “perintah” pada masa itu. Apa yang dia katakan, orang-orang Yunani akan terpesona dan mengikutinya, kecuali orang ini: Diogenes.

Sebelum perjalanan penaklukan ke Persia, seluruh harta Raja Iskandar dibagi-bagikan kepada pasukannya. Bala tentara Makedonia-Yunani begitu gairah mendampingi rajanya yang dermawan. Namun, apa yang tersisa baginya, jika semua hartanya dibagikan? “Harapan” kata Iskandar kepada pasukannya.

Dengan “harapan”, sang raja yang masih belia itu melangkah dengan penuh percaya diri.

Pasukan Iskandar menaklukkan Asia Kecil (bagian dari kekuasaan Persia). Pasukannya yang kalah jumlah, tidak membuat nyali sang raja ciut. Iskandar adalah raja sekaligus panglima perang yang bertarung di garis depan, dan pasukannya melihat itu sebagai dorongan kuat untuk lebih berani menghadapi musuh yang lebih banyak.

Yang unik dalam penaklukan Asia Kecil adalah mitos “simpul gordium”. Sebuah tali yang mengikat sebuah kereta tua pada sebatang tiang. Simpul tali itu lebih rumit dari benang kusut. Mitosnya, jika tali itu dibuka, diurai dan dilepas, maka orang yang melakukannya akan menguasai dunia. Sang raja tak mau ambil pusing, ia menebas tali itu dengan pedangnya hingga putus. Secara simultan, Ernst Gombrich memaknai kisah ini sebagai berikut: “dengan pedang akan kurebut dunia, dan dengan demikian mitos itu akan menjadi kenyataan."

Setelah menaklukkan Asia Kecil, Raja iskandar dan pasukannya tak langsung menyerang Persia. Terlebih dahulu mereka menaklukkan Fenisia dan Mesir yang merupakan provinsi dari Persia.

Sang raja berpikir, masuk ke Persia dan tidak menaklukkan wilayah bagian luar Persia sama saja menginginkan pengepungan. Dan itu pilihan strategi yang buruk.

Menaklukkan Fenesia dan Mesir bukan tanpa hambatan, beberapa pasukan Persia dikerahkan untuk menghalau bala tentara musuh di kota Isus, tapi lagi-lagi mereka takluk untuk kedua kalinya. Para tahanan perang diperlakukan dengan baik, begitu pula dengan ratu dan saudara perempuan dari Raja Persia. Fenesia ditaklukkan selama tujuh bulan pengepungan. Sedangkan Mesir begitu mudah dikuasai, sebab warga Mesir menyambut Raja Iskandar dan pasukannya sebagai agen pembebas dari bangsa Persia. Bahkan, Raja Iskandar didaulat sebagai Putra Sang Surya, anak dari dewa bagi orang-orang Mesir. Saking berjasanya, nama kota Aleksandria di Mesir, konon berasal dari namanya, Alexander.

Tibalah masanya Raja Iskandar menyerang Persia. Raja Persia tentu telah siap dengan bala tentaranya, mereka menunggu di kota tua Niniwe. Namun, mendengar kebesaran nama Raja Iskandar, Raja Persia urung berperang dan mengupayakan diplomasi. Ia kirim pasukannya untuk menyampaikan pesannya. “Separuh Persia akan saya berikan”, kira-kira begitulah isi pesannya. Sahabat Raja Iskandar yang bernama Parmenios, meminta agar sang raja menerima saja separuh pemberian Raja Persia. Parmenios berkata, “seandainya saya Iskandar, maka akan saya terima separuhnya”. Sang raja membalas, “seandainya saya Parmenios, maka akan saya terima seluruhnya, ketimbang separuhnya”. Ia kukuh pada pendiriannya, menaklukkan Persia. Dan “harapan” yang ia gantungkan di awal tercapai, Persia takluk dan rajanya mengungsi ke pegunungan dan dibunuh di sana. Raja Iskandar berang, kemudian menghukum pelakunya.

Yunani, Mesir, Fenisia-Palestina, Babilonia, Asyuria, Asia Kecil, dan Persia adalah wilayah taklukan bala tentara Raja Iskandar. Sesuai dengan harapan yang telah ditetapkan. Bahkan, mereka mengelana lebih jauh dari harapan, tepatnya ke India, dan menaklukkan wilayah Raja Porus. Raja Iskandar ingin ke timur lagi, lebih jauh lagi.

Tapi, penaklukan ada batasnya. Dan pasukannya lebih mengerti dari pada raja mereka. Letih, adalah alasan untuk pulang, mereka kembali ke Barat, menikmati wilayah taklukannya.

Kekuasaan Iskandar Zulkarnain hanya berlangsung hingga usianya mencapai 32 tahun, sang raja mangkat sebelum menikmati wilayahnya yang melebihi sejauh mata memandang.

___________
*) Tulisan ini disampaikan dalam kelas kepemimpinan karakter bangsa di lembaga kemahasiswaan IPMAL Letta, Pinrang.

Comments

Popular posts from this blog

Bola: Bermula Jumat, Berakhir Jumat

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan