Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan



Itu sepeda butut dikebut lalu cabut
Kalang kabut cepat pulang
Busyet!
Standing dan terbang...

Hiruk terdengar lagu Bang Iwan oleh teman-teman pemusik dari Oase Turatea Jeneponto. Lagu yang mengingatkan saya pada sebuah sepeda dan, bukan soal kesengsaraan guru. 

Sepeda mengingatkan pada masa kecil saya, masa bangku sekolah dasar. Orangtua  membelikan saya sepeda dengan seharga Rp. 100.000 dengan bayaran uang Rp. 50.000 ditambah 50 liter beras yang seharga Rp. 50.000. 

Sepeda saya waktu itu jenis Bicycle Moto Cross atau BMX. Warnanya full silver. Anak-anak di lingkungan saya waktu itu masih jarang yang menggunakan BMX. Mereka lebih banyak menunggangi sepeda Mustang. Saya terbilang beruntung. Karena Bapak saya seorang petani dan, memiliki (kelebihan) beras untuk dipakai sebagai bahan barter (setengahnya).

Menunggangi BMX berarti keunggulan atas penampilan. Tapi untuk urusan balapan drag lurus, BMX selalu kalah dari Mustang. Awalnya saya pikir, mungkin karena kekuatan mengayuh, tetapi bukan itu tepatnya. Perbedaan gir BMX dan Mustang yang membedakan kecepatan keduanya.

Dalam buku Melihat Indonesia dari Sepeda yang diterbitkan oleh Kompas, kita bisa melihat sepeda bukan hanya sekadar barang yang bisa dipamerkan dan diadu kecepatannya. Sepeda bisa membaca Indonesia! Sepeda bisa membedakan strata sosial pada masa lampau. Sepeda bisa menjadi alat kampanye seruan hidup sehat di masa kini. Bahkan lebih jauh, sepeda adalah bagian kebudayaan, seperti di tanah Belanda yang jumlah sepeda melebihi jumlah penduduknya.

Kembali ke Jeneponto. Sepeda di sini adalah alat transportasi jasa angkut barang dan orang. Sepeda didesain menggunakan tiga ban dengan bagasi depan yang bisa diduduki oleh barang dan orang. Orang di sini menyebutnya becak. Orang yang menjalankannya disebut pagoyang becak.

Pagoyang becak di Makassar  kadang dianggap sebagai pekerjaan rendah!? Seperti dalam kutipan tulisan berikut (blog.kawananu.com):
Sementara penduduk Jeneponto yang tinggal di Makassar kebanyakan kalangan bawah yang tidak berpendidikan dengan pekerjaan adalah tukang becak, kuli bangunan, buruh pelabuhan dan lain sebagainya walaupun pekerjaan ini bagi saya bukanlah pekerjaan hina karena halal daripada kerja di pemerintahan dengan mengambil hak orang lain dan korupsi.
Adakah pekerjaan rendah?; Apakah juga ada pekerjaan yang tinggi?; Seperti apa pekerjaan tinggi itu? Yang pejabatkah?; Yang kerap tertangkap korupsi itu?

Dalam buku Melihat Indonesia dari Sepeda, Soekarno meninggikan status "sepeda" sebagai alat propagandis. 
Kemudian aku menanjakan nama petani muda itu. Ia menjebut namanja. 'Marhaen'. Marhaen adalah nama jang biasa seperti Smith dan Jones... Semenjak itu kunamakan rakjatku rakjat Marhaen. Selandjutnja di hari itu aku mendajung sepeda berkeliling mengolah pengertianku jang baru.
Soekarno mengenalkan "marhaenisme" melalui sepeda! Sepeda diangkat derajatnya kembali setelah terpuruk oleh elite Belanda yang tergabung dalam klub Motor-Wielrijders Bond, Magneet. 

Bagi klub motor tersebut, sepeda hanya cocok untuk kalangan bruine broeders atau saudara coklat yang tidak lain adalah orang inlander.

Comments

Popular posts from this blog

Bola: Bermula Jumat, Berakhir Jumat

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang