Bola: Bermula Jumat, Berakhir Jumat

Diambil dari laman: superwow.com

Saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya ada satu rutinitas, lepas sepulang sekolah, dua kali dalam seminggu: berburu tabloid Bola.

Dulu Bola begitu laris, dibanding tabloid olahraga lainnya yang sejenis, semisal Soccer; atau yang tidak sejenis, semisal Otomotif. Kadangkala saya kehabisan. Stok pada masa itu sangat terbatas.

Pada era tahun 90-an hingga memasuki babak milenial awal, Bola merupakan medium utama warta olahraga: khususnya sepakbola. Saya sendiri mengenangnya sebagai asupan informasi awal mengetahui perkembangan sepakbola di Eropa—khususnya Italia dan klub AC Milan. Dari Bola, saya bisa mengetahui jika Silvio Berlusconi, selain memimpin AC Milan, juga adalah seorang perdana menteri—pemimpin seantero Italia pada masanya. Selain itu, saya cukup tahu daerah-daerah—yang bukan hanya Roma saja karena tenar sebagai ibukota negara—wilayah utara dan selatan Italia yang tidak pernah akur dalam bidang politik cum sepakbola. Atau klub-klub yang berasal dari pulau, kadang keluar-masuk di tabel klasemen Serie A.

Bola terbit pertama kali pada tahun 1984, waktu itu masih nebeng di berita olahraga koran Kompas. Karena pembaca merasa kurang puas sebab hanya memuat 1 halaman, muncul ide untuk dilepaskan dan dikelola mandiri. Di sebuah acara di hotel Hilton Jakarta, Jakob Oetama menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada Yussack Sutanto. Penyerahan itu sebagai simbol kemandirian tabloid Bola. Edisi mandiri yang pertama ditandai dengan cover Si Tangan Tuhan, Diego Armando Maradona, dengan tajuk "Maradona ke Galatama?".

Tanggal 26 Oktober 2018, edisi terakhir untuk cetak diterbitkan (sumber: Twitter @TabloidBOLA). Hari jumat dipilih, mengikuti (hari) kali pertama tabloid Bola terbit pada tahun 1984. Apa yang membuat Bola menghentikan proses cetaknya?

Kita akan berpikir bahwa dunia telah mengalami banyak perubahan. Kita bisa mengamati, bagaimana sains dan teknologi yang berkembang begitu pesat hari ini. Hal ini bisa kita benarkan. Hasil amatan Herbert Marshall Mcluhan—beliau yang digelari Bapak Desa Digital itu—terhadap perkembangan media komunikasi membagi informasi komunikasi ke tiga fase berikut: oral, cetak dan digital. Fase oral dan cetak perlahan mulai ditinggalkan, media hari ini telah beralih ke bentuk digitalisasi. Belum masif, tapi tanda-tandanya sudah kian terasa. Nah, apakah buku cetak akan bernasib sama dengan koran dan majalah?

Selamat jalan tabloid Bola, prediksi pertandinganmu menarik. Terimakasih BOLA.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan