Kawanua: Maadon dan Sangir
Pertama kali saya menemukan kata 'kawanua' dalam buku Andi Mattalatta, Meniti Siri' dan Harga Diri. Disebutkan, ada seorang perempuan bernama Paula Rumambi, begitu memesona seorang pemuda bernama Herman yang tidak lain adalah Andi Mattalatta. Perempuan itu dikisahkan sebagai keturunan orang Kawanua.
Kawanua dalam KBBI V adalah suku bangsa merujuk pada orang Minahasa.
Beberapa tempat-tempat yang ada di Manado, dinamai dengan kata kawanua. Sebutlah sebuah hotel mentereng, kapal pesiar cepat yang beroperasi ke pulau-pulau terdepan, dan juga tempat belanja oleh-oleh khas Sulawesi Utara.
Secara etimologi, apabila merujuk pada bahasa Minahasa, kawanua berarti 'wanua' yang bermakna suatu negeri atau desa. Bisa juga disebut semacam pemukiman penduduk. Hal yang unik dari cara orang-orang Sulawesi bagian utara menamai wanua mereka, adalah dengan menamai tempat yang didiami sama dengan nama suku mereka, sebagaimana penjelasan dari Padtbrugge berikut.
Oleh karena tidak ada kepastian mengenai tempat pemukiman yang tetap, bukan nama wilayah yang diberikan untuk nama rumpun atau suku, tetapi nama rumpun atau sukulah yang diberikan kepada wilayah.
Wanua Maadon, merupakan cikal bakal orang Manado hari ini. Entah karena orang Sulawesi bagian utara suka membolak-balikkan huruf atau menyederhanakan penyebutan, hingga 'maadon' kemudian berubah nama menjadi 'manado'. Penamaan ini juga berlaku untuk daerah Castilianen menjadi Tasikela, Uwuran menjadi Amurang, Tou Muung menjadi Tomohon (Bert Supit, 1986:75).
Orang Maadon pun terpaksa harus meninggalkan tempat itu (pantai timur disebut juga pantai lilang). Dalam pengungsian mereka akhirnya mendarat di Pulau Babontehu, bekas pusat kerajaan yang telah dikalahkan oleh Bolaang. Sejak saat itu Maadon hilang dari cerita-cerita rakyat mengenai pantai timur. Tempat yang baru itu, Pulau Babontehu, juga dinamakan Maadon, sesuai dengan kebiasaan pada waktu itu untuk menamakan tempat pemukiman menurut nama suku. Kemudian istilah Maadon berubah menjadi Manado.Untuk wanua Sangir (sebutan Pulau Sangihe bagi penduduk setempat) terdapat hal yang menarik. Bagi penutur setempat, yang berakhiran 'he' akan berubah menjadi 'r'. Selain Sangihe yang berubah menjadi Sangir, ada juga satu daerah bernama Kendahe, bagi warga setempat daerah itu kemudian disebut Kendar.
Tidak banyak yang bisa digali dari Sangir. Sebab buku yang mengulas tentang Sangir juga sangat terbatas. Referensi paling banyak disadur adalah karya Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen lewat buku mereka yang berjudul: Silsilas/Tarsilas (Genealogis) and Historical Narratives in Saranggani Bay and Davao Gulf Regions, South Mindanao, Philippines, and Sangihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia.
Kuatnya tradisi lisan membuat Sangir mesti didefinisikan dari cerita-cerita rakyat yang berkembang.
Dalam tradisi lisan Sangir, pengertian kata Sangir atau Sangihe ini bisa ditemukan. Seperti dijelaskan oleh D. Manatar bahwa Sangihe berasal dari kata 'sang' dan 'ihe' yang berarti Sang Air atau Samudrawan. Paul Nebath sendiri menjelaskan bahwa Sangir berasal dari kata 'Sang Air' yang berarti Pelaut (Alffian Walukow).
Suku Sangir adalah sebuah suku yang dianggap tidak memiliki aksara meskipun ada beberapa bukti benda beraksara yang masih tertinggal, tetapi sampai saat ini belum dikaji kebenarannya. Ketidaksanggupan menyelamatkan semua peninggalan kebudayaan berupa benda masa lalu disebabkan kepulauan Sangihe sering dihancurkan oleh bencana (Alffian Walukow).Dari sini saya tidak heran, melihat di pulau dengan luas 461 km² ini banyak dipasangi plang peringatan dan jalur evakuasi bencana. Di Tahuna (pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe) sendiri, di tiap sudut jalan ada banyak plang seperti ini. Plang ini ada sebanyak 170 titik di tiap-tiap ruas jalan utama di Tahuna.
Comments
Post a Comment