Mengakrabi Sungai Mandar [3]

"Hanya ada dua di dunia ini, yang nama sungainya sama dengan nama sukunya. Sungai dan Suku Mandar; serta di India dengan Sungai dan Suku Hindustan." Seperti itulah Abba' Lèlè mendeskripsikan Sungai Mandar yang membentang di hadapan saya. Raut wajahnya yang tidak lagi muda menegaskan sesuatu kepada saya, "ada nilai filosofi di balik pemberian nama sungai itu, dan mestinya ditelusuri makna di balik pemberian nama itu." Tuturnya.

Abba' Lèlè, budayawan Mandar*

Kemudian saya teringat sebuah bacaan, mengenai minuman beralkohol, yang juga hanya ada dua di dunia ini, nama minumannya sama dengan nama suku bangsanya: minuman scotch yang identik dengan bangsa Scotch (Skotlandia) dan minuman bengal untuk bangsa Bengali di India. Keduanya menggunakan identitas bangsa untuk minuman mereka, lebih dikarenakan nasionalisme kesukuan dalam diri mereka yang telah mengakar kuat. Mereka sama-sama menyukai dan bangga atas minuman keras mereka; dan sama-sama termarginalkan di antara suku bangsa di sekitarnya. Nah, apakah ada hubungan erat juga antara Mandar dan Hindustan? Sejauh ini saya belum bisa memberikan/menyimpulkan apa-apa.

Pagi-pagi sekali, saya bangun dan keluar dari tenda. Di luar, udara dingin masih menyelimuti hutan bambu seluas 20 ha. Jika diamati, luas hutan bambu ini bisa dua kali lipat area Masjid Istiqlal di Jakarta. Tanaman bambu seluas 20 ha itu dimiliki oleh beberapa warga Alu. Dalam satu areal, biasanya hak kepemilikan dimiliki oleh dua orang. Satu menguasai tanah, yang satu lagi menguasai bambunya. Bambu yang ada di Alu, biasanya dijual sebatangnya Rp 30.000 di daerah Tinambung. Jika diambil dari Alu, itu bisa di bawah harga tersebut. Tutur seorang warga Alu yang saya ajak ngobrol di warung pameran.

Saya melihat sekeliling, para peserta FSM 5 masih terlelap di tendanya masing-masing; sebagian di buaian yang diikat di sela-sela bambu. Waktu yang tepat untuk mandi di sungai.

Hutan bambu Alu dan penanda yang mengarah ke sungai*

Saya menuruni ceruk sungai Mandar yang landai, dan sudah ada penopang yang terbuat dari bambu. Hanya harus lebih hati-hati, karena tanah di bibir sungai tidak begitu keras akibat abrasi yang terus mengikis pinggiran sungai.

Saya merasakan aliran air Sungai Mandar, cukup dingin, seperti air pada umumnya di awal-awal waktu pagi. Aliran sungai tidak begitu deras. Nampak di sisi sungai rakit-rakit dan batang-batang bambu yang tegak menancap di dasar sungai; berfungsi sebagai pendorong.

Sungai Mandar di pagi hari, nampak kabut di sisi seberang bukit*

Pada masa lalu, masyarakat di Alu menggunakan rakit sebagai alat transportasi. Dan Sungai Mandar bagi masyarakat Alu adalah arus penghubung dengan dunia luar. Bagaikan jalur sutra yang membentang di Benua Asia, menghubungkan Timur dan Barat dalam laju perekonomian, kebudayaan, dan keagamaan.

Jarak antara Desa Alu hingga ke Tinambung bisa memakan waktu tiga sampai empat jam, begitulah kata Ishak, kepala sekolah FSM 5, yang pernah menelusuri Sungai Mandar dengan rakit di kegiatan FSM 3, dua tahun yang lalu.

Para peserta Sekolah Sungai FSM 5 sedang menjajal rakit buatan masyarakat Alu*

Muhammad Ishaq, kepala sekolah kegiatan Sekolah Sungai FSM 5*

Selepas mandi di sungai, merapikan tenda, saya kemudian menuju ke area pameran FSM 5. Letak area pameran tidak jauh dari lokasi saya mendirikan tenda. Lokasinya berada di tengah-tengah kegiatan FSM 5. 

[Bersambung ke catatan selanjutnya]

*) Gambar ini diambil dari beberapa hasil foto peserta FSM 5 melalui lini masa facebook.



Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan