Mengakrabi Sungai Mandar [2]

"Kamu sudah memutuskan mau pergi, pergilah!" Begitulah pesan Bunga pada Pangeran Cilik dalama kisah Le Petit Prince-nya Antoine de Saint-Exupéry. Pesan Bunga pada Pangeran Cilik bermakna perintah, berkelanalah dan lihatlah dunia ini lebih luas. Lebih luas dari tempatmu berdiam diri.

Saya memasuki jalan desa meninggalkan jalan poros Tinambung. Jalan yang saya lewati sudah dibeton oleh pemerintah, menggantikan jalan beraspal yang mudah rusak. Tampak rumah-rumah berdampingan di sisi kiri-kanan jalan. Sepintas amatan saya, ada dua desa yang saya lewati sebelum sampai di Kecamatan Alu. Jalan beton hanya menemani saya sampai di desa ke dua, setelahnya jalan mulai beraspal, di awal masih mulus, tetapi semakin masuk ke dalam jalanan semakin rusak.

Saya belum melihat sungai, tempat yang ingin saya tuju. Sepanjang jalan masih rumah penduduk dan belukar di beberapa tempat. Tebing-tebing menjulang di sisi kanan dan jurang di sisi kiri. Lereng terjal mulai saya temukan setelah melewati rumah padat penduduk di perbatasan desa ke dua. La Rosoneri masih tetap saya pacu, tapi lebih garang lagi.

Beberapa saat kemudian, saya mulai melihat arus sungai. Sungai Mandar! Saya takjub, tentunya.

Sungai Mandar yang terletak di hulu Desa Alu, Kec. Alu, Kab. Polman, Sulawesi Barat

Sepanjang sisi kiri jalan terbentang sungai yang cukup luas. Pepohonan yang rimbun berjejer di sepanjang aliran sungai. Bebatuan kali timbul di sana-sini. Sangat elok dipandang mata, walau di beberapa sisi sungai mulai terjadi abrasi.

Saya masih terus melanjutkan perjalanan, sempat singgah dua kali untuk bertanya ke beberapa warga, "Desa Alu masih jauh?" Hingga saya akhirnya menemukan tapal desa yang berdampingan dengan baliho kegiatan.

Tapal Desa Alu dan Patung bambu berwarna kuning, sebagai simbol desa yang memang banyak di Alu

Orang kedua yang saya singgahi menunjuk dengan jelas, "Itu desanya, dikelilingi sungai." Penurunan terjal mulai menyambut saya, jurang di sisi kanan, dan lereng bukit di sisi kiri jalan, sedang rem tangan saya genggam erat-erat.

Desa Alu dari atas bukit

Saya terus beranjak turun, menyusuri jalan yang berkelok dan curam. Saya kembali melewati jalan beton, tapi permukaan agak kasar, dan beberapa batu kecil berserakan di badan jalan.

Setelah melewati penurunan, saya akhirnya tiba di Desa Alu. Di kiri-kanan jalan, rumah-rumah kayu dan batu berdampingan. Beberapa hasil desa seperti cokelat dan sepertinya kemiri, dikeringkan di badan jalan, mengambil seperempat bagian jalan desa. Warga Alu nampak di sisi jalan, memandangi beberapa kendaraan yang ramai lalu lalang di hadapan mereka. Bingung? Takjub? Senang? Sinis? Entahlah, itu yang ada dipikiran saya. 

Desa nampak ramai, dengan penambahan jumlah kendaraan di jalan. Saya terus menyusuri jalan, mengikuti kendaraan di depan saya. Di sisi kanan jalan sungai Mandar membentang, suara air yang mengalir, lekat di telinga. Saya terus menyusuri jalan, hingga akhirnya menemukan penanda kegiatan.

Lapangan Alu telah nampak di hadapan saya. Gerbang masuk kegiatan FSM 5, nampak berdiri kokoh, terbuat dari bambu, hasil alam Desa Alu.

Tempat registrasi untuk peserta sekolah sungai

Selamat datang di lokasi FSM 5.

[Bersambung ke catatan selanjutnya]


Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan