Mengakrabi Sungai Mandar [1]

Pada dasarnya adalah bergerak. Bergeraklah! Seperti itulah pemantik Eric Weiner dalam bukunya The Geography of Genius. 

Kalimat itu sedikit menyiksa, bagi seorang seperti saya yang suka berdiam diri di rumah. Saya biasa menghabiskan waktu di rumah, seputaran kamar tidur dan kamar mandi, selebihnya di ruang makan dan ruang keluarga.

Buku itu, cukup banyak mengubah perilaku saya yang biasa berdiam diri di rumah. Wira-wiri ke sana ke mari. Saya biasanya lupa bahwa ada hal menarik di luar sana yang belum saya temui. Dan sangat sayang untuk dilewatkan.

Beberapa tahun belakangan ini, saya mulai turun dan bergerak, yang dalam arti leksikalnya: beranjak. Tinggalkan hunian sementara waktu, dan melihat, apakah ada yang luput dari amatan saya selama ini? Meskipun kita ketahui bersama, sudah barang tentu ada yang luput.

Plakat pengumuman Festival Sungai Mandar 5 di facebook

Satu agenda penting yang saya temukan di laman facebook, sejak bulan lalu dibagikan oleh Muhammad Munir, seorang pegiat literasi di Mandar. Kegiatan itu bertajuk Festival Sungai Mandar (FSM), untuk tahun ke lima. Saya kemudian membaca pengumumannya, kemudian merencanakannya ke Mandar. Lokasinya di Desa Alu, Kecamatan Alu Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saya mesti ikuti kegiatan ini!

La Rosoneri, tumpangan roda 2 saya ke Mandar

Selepas jumatan (13/7/2018), saya berangkat ke Tinambung-Polewali Mandar, lokasi yang masih saya kenali dari petunjuk Munir. Tetapi Desa Alu, tidak saya ketahui sama sekali. Yang saya tahu dari pesan Munir, lampu merah tinambung belok kananmi! Masuk, agak jauh ke dalam.

Modal awal untuk berangkat, lettu mèmenno nappa'ko jokka—tibalah sebelum berangkat. Pepatah Bugis ini bukan hanya sekadar memberikan kesadaran bagi orang yang sedang berpergian agar selamat di jalan, selain itu, juga memberikan kesadaran mengenai gambaran tujuanmu, kamu hendak ke mana? Melengkapi berbagai informasi perjalanan sebelum mencapai tujuan. 

Setiba di Tinambung, setelah melewati rute yang cukup panjang, saya menemukan satu-satunya lampu lalu lintas yang biasa kita sebut dengan istilah "lampu merah". Ada pasar, perapatan, dan keramaian. Identiknya, di beberapa daerah yang saya lalui ini, ketika ada lampu lalu lintas maka biasanya ada pasar dan keramaian, yang sudah pasti ada percabangan jalan.

Perapatan yang padat. Di tiap sudut jalan terlihat kemacetan. Kendaraan parkir di mana saja.

Roda ekonomi daerah sedang berjalan di perapatan jalan yang padat di atas ini. Kelangsungan kehidupan beberapa masyarakat bergantung di sini. Pasar rakyat, dan kendaraan di mana-mana, parkir seenaknya saja.

Saya turun dari tunggangan—La Rosoneri. Mengamati sekeliling, dan hendak bertanya. Tempat yang paling bagus untuk bertanya soal arah jalan adalah orang-orang yang kesehariannya menjual jasa pengantaran. Pengayuh becak, tukang ojek, penunggang delman, dan supir mobil angkutan umum. Merekalah yang berperan penting dalam memindahkan arus barang, dari satu tempat ke tempat yang lain.

"Pak, numpang nanya, Desa Alu lewat mana yah?"
"Aluu?" Saya dengarkan dengan saksama aksennya, saya seperti mendengar orang Prancis yang sedang berbicara, Aluu.
"Èh, yang lokasi festival Pak?"
"Oh iyah, di Kecamatan Aluu. Belok kanan, terus saja, jauh masuk ke dalam."
Saya menguji ingatannya, "berapa kilo Pak?"
"Sepuluh kilo lagi.."
"Hem, terimakasih Pak." Saya kembali ke kendaraan yang saya parkir di tepi kiri jalan sebelum lampu lalu lintas. Saya bunyikan kendaraan, dan tersenyum kepada bapak itu.
"Terus sajaa.." sambil tangannya melambai ke depan, menandakan sesuatu yang jauh.

[Bersambung ke catatan selanjutnya]

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan