Kegeniusan di Kolkata

National Geographic

Sebelum India lepas dari cengkeraman orang Inggris, masyarakat di Kolkata—sebuah wilayah di India yang dihuni mayoritas Suku Bengali—diajari untuk membaca. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Inggris, dengan maksud menuntaskan buta aksara di wilayah jajahannya. Penjajah Inggris percaya, orang-orang Kolkata jika telah pandai membaca, maka akan membantu pemerintahan, dan itu barang tentu memudahkan segala urusan penjajah. Namun, nasib berkata lain. Sebagian orang-orang Kolkata itu, yang telah mampu membaca, akhirnya lebih memilih menjadi penyair, ketimbang mengikuti arahan penjajah: menjadi pegawai.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, terutama di Jawa, Belanda sebagai penjajah menyekolahkan para priayi (anak bangsawan pribumi) dengan tujuan: menciptakan ambtenaar atau pegawai pemerintahan. Namun, tidak semua anak priayi itu menjadi ambtenaar. Mas Tirto Adhi Soerjo misalnya, lebih memilih menjadi jurnalis ketimbang seorang dokter pemerintah Hindia.
Antara Kolkata dan Jawa, cukup banyak kesamaan. Sama-sama dijajah; disekolahkan; dan tidak mengikuti tujuan utama luaran pendidikan ala jajahan. Sebagian pelajar memandang sempit tujuan pendidikan ala jajahan, sebab hanya mementingkan keinginannya semata. Istilahnya, mereka terjangkit parokialistis, bersifat picik terhadap keinginan pikir para penjajah. Parokial merupakan istilah budaya dalam politik, biasa digunakan sebagai sikap apatis terhadap suatu bentuk kontestasi politik.
Eric Weiner, dalam bukunya The Geography of Genius, menggambarkan sikap parokial sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan dan ketidakdisiplinan suatu kelompok masyarakat terhadap kondisi yang dihadapinya dalam bernegara. Negara dengan segala macam perintahnya, melalui lembaga dan aturan-aturannya, dengan perangkat-perangkat hukumnya, bekerja untuk mencapai keteraturan di tengah masyarakatnya. Namun, tidak di India, masyarakat Kolkata bebal untuk urusan mematuhi aturan-aturan yang memaksa untuk teratur. Jadinya, hukum pendisiplinan terhadap masyarakat berubah menjadi sikap kesemrawutan, kekacauan namun bukan berarti anarkis, dan itu menyenangkan bagi orang-orang Kolkata. Mereka senang dengan segala kesemrawutan dan kekacauan yang terjadi di jalan-jalan Kolkata, kabel-kabel listrik yang melintang di sepanjang jalan kota, kemacetan, simpang jalan yang membingungkan, dan segala polusi udaranya. Semua itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Kolkata, dan mereka baik-baik saja menjalani kesemrawutan dan kekacauan itu, peduli apa dengan aturan yang mengatur di jalanan.
Manusia pada dasarnya menginginkan kebebasan, tanpa mesti segala kebutuhannya diatur oleh hukum. Manusia pada dasarnya menghendaki kekacauan, dan hukum mestinya hanya sebagai sarana yang hadir untuk memberikan batasan dari kekacauan yang berujung atas tindakan anarkis. Kekacauan dan anarkis suatu istilah yang berbeda, di Kolkata kekacauan adalah tarian India itu sendiri, sedang anarkis adalah tawuran antar kelompok sebagaimana yang biasa dipraktekkan para mahasiswa di Makassar.
Sebagaimana manusia sebelum mengenal negara dengan perangkat hukumnya, manusia-manusia berkelompok dalam satuan-satuan dengan jumlah yang tidak sebanyak jumlah manusia dalam negara. Elman Service menyebutkan empat fase dalam laju masyarakat, berawal dari kawanan (band), kesukuan (tribe), kedatuan (chiefdom) dan berakhir di negara (state). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jared Diamonds, manusia sebelum mengenal negara hidup dalam kawanan. Di dalam kawanan, mereka saling mengenal satu sama lain, saling menjaga sesama kawanan, dan saling mengingatkan bahaya dari luar kelompoknya. Belum ada aturan atau hukum yang tertulis, yang memberikan batasan terlalu kaku dan rigid terhadap kesemrawutan dan kekacauan yang dilakukan oleh kawanan.
Manusia dalam kawanan, hidup dalam daulat alam, bekerja mengikuti ritme alam. Hak untuk menentukan nasib kawanan, digantungkan pada alam. Seperti itulah pola kawanan dalam menyikapi hidup, sebelum negara merenggut seluruhnya, walaupun masih menyisahkan sedikit diantaranya. Masyarakat Kolkata, merupakan bagian dari kawanan yang tersisa itu. Hidup dengan segala kerumitan alam yang bekerja di sekelilingnya, mengganggap kekacauan itu adalah inspirasi kehidupannya, dan itu genius menurut Eric Weiner.
Parokial, kesemrawutan dan kekacauan itu genius. Itu semua, merupakan sebuah misteri dari segala kerumitan alam yang sedang bekerja, sebagaimana diamini oleh tokoh mashyur pembaharu Kolkata, peraih nobel, dan mengakui dirinya sebagai seorang penyair: Rabindranath Tagore.

-------
Book Review: 
Weiner, Eric., 2016, The Geography of Genius, diterbitkan oleh Qanita Mizan Pustaka.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan