Surat-Surat Jassin [2]

Betapa bahagianya seseorang ketika menerima kiriman surat, apalagi jika surat itu sudah dinanti berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun lamanya. Sungguh saya iri pada mereka yang hidup di era sebelum short message service (sms) hadir. Orang-orang menulis surat, tidak dibatasi oleh karakter kata, mencurahkan isi perasaan pada badan surat, dan dituntut lebih teliti sebelum dikirim ke kantor pos.
Satu dari sekian orang yang mengalami fase kebahagiaan itu adalah H.B. Jassin. Dalam Surat-Surat 1943-1983, Jassin bersurat pada banyak rekannya. Namun, saya mencoba memilahnya. Ibaratnya saya sebagai tukang sortir surat untuk surat-surat Jassin. Hasilnya, saya memilih tiga orang rekannya, yang bagi saya, Jassin sepertinya menaruh rasa kagum dan simpatik. Hal ini menarik untuk dibincangkan. Siapa-siapa saja mereka?

Surat-Surat Jassin yang Menarik Dibincangkan
  • Surat-surat untuk Pramoedya A. Toer
Ada beberapa surat dari Jassin yang menarik untuk dibahas. Surat-surat itu bertalian dengan beberapa peristiwa penting yang ada hubungannya dengan Kesusastraan Indonesia. Salah satunya untuk Pramoedya Ananta Toer atau yang kerap disapa Pram.
Pram merupakan salah seorang penulis yang cukup diperhitungkan oleh Jassin. Bagi Jassin, Pram adalah orang yang mempunyai keahlian: kelancaran bercerita. Dalam surat bertanggal 5 Mei 1949, Jassin memuji sekaligus ingin mengingatkan Pram.
“…Saudara punya kelancaran bercerita. Ini ada bahayanya. Karena gampangnya melukiskan, lalu tidak ada pemilahan dan penapisan, mana yang perlu mana yang tidak perlu diceritakan. Cari selalu esensi, ide, bukan tendens, apalagi propaganda…”.
Namun, bagaimanapun juga Jassin tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada sosok Pram. Di surat yang sama, Jassin mengungkapkan kekuatan Pram dalam menulis.
“Mungkin tidak Saudara sadari, tapi kekuatan Saudara ialah dalam mengajuk dan mengalirkan perasaan-perasaan manusia yang paling halus tentang keadilan, kemanusiaan, kasih sayang sesama. Inilah yang mengaharukan saya dalam cerita-cerita pendek Saudara.”
Antara Jassin dan Pram, sepertinya memiliki kedekatan yang baik. Mungkin ini didasari atas hubungan penulis dan pembaca. Beberapa karya Pram yang pernah dikirim ke Balai Pustaka, meminta untuk dikoreksi oleh Jassin. Diantaranya, Hujan dan Manusia; Kemelut; Masa; Kawanku Sesel; Orang Baru; Jongos dan Babu; Risiko; Lemari Antik; dan Blora. Hasilnya: beberapa dianggap baik, malah ada yang sangat baik, selebihnya dirasa kurang oleh Jassin.
Setelah balasan surat pertama di tahun 1949, baru di tahun 1961, ada balasan surat lagi kepada Pram. Saya menduga, mungkin Pram sibuk dengan program pertukaran budaya ke Belanda, dan setelah dari Belanda sibuk mengurusi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dugaan saya ini tentu berdasar dari buku-buku dan literatur lain yang merekam jejak kehidupan Pram.
Yang menarik dari surat bertanggal 16 Februari 1961, Jassin seperti menaruh harapan pada Pram dan meminta agar tetap terus bisa berkomunikasi. Dalam surat tersebut, Jassin berharap Pram mesti terus “menggali sebanyak-banyaknya”. Apa yang mesti digali? Saya beranggapan, Jassin sepertinya menginginkan Pram terus menggali informasi dari berbagai sumber tulisan yang berhubungan dengan kemajuan Kesusastraan Indonesia. Anggapan saya berdasar pada sepenggal kalimat ini: “…ini sangat penting, terutama bagi penyelidik sejarah sastra…”. Di akhir surat Jassin berpesan:
“Saya harap kita terus bisa hubungan, meskipun hanya dengan surat-menyurat. Dan semoga kesehatan Saudara pulih kembali dan kuat menghadapi cobaan. Dalam tempaan lahirlah pribadi-pribadi.”
Dari dua surat di atas, bisa kita ketahui, hubungan Pram dan Jassin berlangsung dengan baik.
Namun, di surat berikutnya, 9 Agustus 1962, hubungan keduanya mulai memanas, tapi masih dalam tahap yang wajar. Saya memperkirakan, ini ada kaitannya dengan pandangan ideologis keduanya. Pram sangat mengilhami slogan seni untuk rakyat, sedang Jassin tidak dalam posisi membenarkan hal itu. Dalam surat tahun 1961, Jassin sudah berpesan kepada Pram:
“…tidak usah kuatir bahwa tanpa menyebut rakyat Saudara lalu tidak dianggap sebagai wakil rakyat. Justru dalam tiada penyebutan, letaknya tenaga dan kebesaran.”
Apakah hal di atas yang kelak melahirkan slogan seni untuk seni sebagai lawan dari seni untuk rakyat, ataukah dasar awal dibentuknya Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang mencoba mematahkan dominasi Lekra? Menarik untuk dicari tahu.
Berlanjut di surat bertanggal 9 Agustus 1962. Surat ini terbilang sangat pendek, emotif, dan lugas. Jassin mempertanyakan kemanusiaan Pram, seraya berduka cita atas karangan Pram yang terbit di Bintang Timur.
“Bagaimana mungkin pengarang yang begitu penuh prikemanusiaan dalam Keluarga Gerilya dan Mereka yang Dilumpuhkan dunianya telah menjadi sempit demikian?”
Jassin jelas kecewa dengan perubahan sikap Pram.
Di tahun 1962 krisis politik mengahampiri tiap lini kehidupan, sastra pun demikian. Di tahun ini, beberapa orang Lekra mulai melayangkan tuduhan-tuduhan kepada orang yang tidak sejalan dengan mereka, termasuk Manikebu. Yang paling keras datang dari Abdullah SP, penulis artikel di majalah Lentera yang menuduh Hamka sebagai seorang plagiat atas karyanya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk. Ada dugaan, jika Abdullah SP adalah nama pena dari Pram. Di kasus ini, Jassin ikut pula memainkan peran, sebagai penyeimbang dari akses informasi yang tidak berimbang, sekaligus menjadi tameng bagi Hamka.
Tahun 1963 adalah tahun terbentuknya Manikebu, dan tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia mulai terpolarisasi ke dalam dua kubu, Lekra dan Manikebu. Muncullah pandangan-pandangan, kalau yang bertarung adalah Pram dan Jassin, Lentera dan Sastra. Apakah Pram dan Jassin menegaskan pertarungan mereka dalam suratnya?
Jika kita membaca surat-surat Jassin pada Pram di tahun 1963, tanggal 2, 13, dan 21 November, maka kita bisa temukan surat-surat Jassin yang menanggapi tulisan-tulisan Pram di Lentera, beserta permintaan Jassin kepada Pram untuk menanggapi surat-surat terbuka dari Buchari. Dugaan saya, Jassin ingin mendinginkan suasana baik antara dirinya dan Pram, maupun polemik seputar Manikebu dan Lekra. Apa yang diutarakan oleh pengamat di luar, mungkin sangat lain dengan apa yang dialami oleh Jassin dan Pram. Sedang untuk tanggapan atas isi surat-surat dari Buchari yang memuat polemik seputar permasalahan kebudayaan — yang Taufik Ismail sebut sebagai prahara sastra — diserahkan oleh Jassin kepada Pram melalui kiriman surat. Pram menanggapi dan menyanggupi permintaan Jassin. Pram dengan besar hati menjawab surat terbuka dari Buchari dan memuatnya di Lentera. Jassin tentu merasa senang atas sikap Pram. Jassin menyanjung Pram dengan menulis:
“…ternyata Saudara masih punya kelentunan jiwa untuk diajak bicara sebagai manusia dengan manusia...”
Saya menduga, Jassin dan Pram masih bisa menahan diri untuk tidak membesar-besarkan polemik yang terjadi di tahun itu. Jassin menutup suratnya, tertanggal 21 November dengan pesan:
“Saling pengertian akan menghilangkan ketegangan dan kita semua menginginkan perdamaian dunia.”
Surat terakhir Jassin untuk Pram, tertanggal 14 Januari 1964. Dalam isi surat tersebut, Jassin membalas surat Pram yang dikirim pada tanggal 28 Desember 1963 yang isi pesannya memuat 12 (dua belas) halaman. Isi surat balasan Jassin diuraikan dengan singkat, hanya 4 (empat) paragraf saja. Itupun hanya dijawab secara lugas oleh Jassin. Paragraf pertama, Jassin mendoakan Pram agar kembali waras. “Saya berdoa semoga Saudara kembali waras dan penyakit saudara tidak berlarut-larut hingga jiwa Saudara tidak tertolong lagi”; Paragraf kedua, Jassin menyampaikan pada Pram, bersama dengan surat balasan ini dirinya menitipkan 2 (dua) map berisi dokumen-dokumen Pram, 1 (satu) kitab catatan Kakek Pram, dan Memoir yang sudah dititipkan kepada Hidajat Wikantasasmita dan Piet Santoso; Paragraf ketiga, hanya sebuah pesan basa-basi, “Harap Saudara terima dengan baik dalam keadaan tiada kurang suatu apa”; Dan Paragraf terakhir ditutup dengan ucapan, “Selamat Tahun Baru buat seluruh keluarga.”
Di surat terakhir tersebut, adakah Pram telah memutuskan tali silaturahmi dengan Jassin, dengan menarik semua tulisan-tulisannya dari tangan Jassin.
  • Surat untuk Subagio Sastrowardoyo
Subagio Sastrowardoyo adalah kerabat dari aktris Dian Sastrowardoyo. Anda percaya? Lah, ragu dengan informasi saya? Tanya M Aan Mansyur, kemarin dia sempat ngomong itu di acara Makassar International Writers Festival (MIWF) 2017.
Mari kita lupakan ikatan kekerabatan Sastrowardoyo. Mari kita simak surat-surat Jassin untuk Subagio Sastrowardoyo. Surat-surat untuk Subagio terbilang paling banyak di antara surat-surat lainnya. Terhitung ada 18 (delapan belas) surat yang dikirim oleh Jassin kepada Subagio.
Surat-surat Jassin untuk Subagio cukup beragam. Surat memuat pembahasan seputar karya, penerbitan, pendidikan, dan hal-hal sepele lainnya. Saya akan mengutarakan beberapa hal yang menurut saya penting untuk dibahas dan diselidiki lebih lanjut.
Di tahun 1955 ada karya Subagio yang dipindah-tangankan. Hal ini memunculkan dugaan jika Jassin sepertinya belum siap untuk menerbitkan karya Subagio. Namun, bukan karena karya Subagio buruk. Kuat dugaan, Jassin yang menangani majalah Seni waktu itu sedang mengalami pembekuan, Seni mengalami kebangkrutan. Jatuh bangunnya perusahaan penerbitan kala itu, menjadi persoalan serius. Dampaknya tentu buruk, banyak karya-karya yang urung untuk disebarluaskan. Pada waktu itu, karya Subagio dialihkan kepada Balfas yang mengelola majalah Kisah. Selain soal bangkrutnya Seni, Jassin juga disibukkan dengan urusan sekolahnya di tahun itu.
Barulah di tahun 1956, Jassin mulai lepas dari urusan ujian sekolahnya, walaupun tak sepenuhnya lepas. Setidaknya Jassin telah melewati satu tahap ujian. Fokus pendokumentasiannya juga sudah beralih dari majalah Seni ke Mimbar Indonesia. Salah satu karya Subagio yang ingin diterbitkan di Mimbar adalah Surat dari Yogya. Di tahun itu, perusahaan penerbitan masih jatuh bangun, seperti pohon pisang, mati satu tumbuh tunas yang baru.
Periode 1957 adalah periode pengulangan kembali kejadian tahun 1956. Karya Subagio di tahun 1957 dialihkan lagi kepada Ramadhan yang mengelola majalah Siasat. Waktu itu majalah Kisah dan Mimbar Indonesia sedang mengalami persoalan keuangan: tak kuat bayar honorarium. Dan anehnya, di tahun itu Jassin kembali berkutat dengan persoalan ujian sekolahnya. Cuma, yang menarik untuk kita ketahui di tahun itu, kumpulan sajak Subagio, Simphoni, mendapat perhatian khusus dari Jassin.
Ada satu surat Jassin —bulan Desember 1957— kepada Subagio yang hanya membahas kumpulan sajak Simphoni. Surat itu terbilang panjang, 13 halaman buku. Isi surat memuat perdebatan dasar-dasar kepercayaan, pandangan hidup, sampai menyinggung konsepsi seorang Heraklitos, Plato, Aristoteles, Plotinus, hingga Al-Hallaj. Perdebatan panjang dan cukup menguras tenaga bagi yang membacanya. Saya sebagai pembaca hanya bisa mengira-ngira, mereka-reka, meraba-raba, kalau mereka sedang meperdebatkan sastra dari sudut pandang filsafat dan agama, tapi menggunakan pendekatan psikoanalisa ala Freud. Berat bukan?
Tahun 1959, merupakan tahun di mana Jassin akhirnya mendapatkan kesempatan untuk belajar di Amerika. Jassin sempat menunda-nunda keberangkatannya, tapi tidak dikemukakan secara detail alasan penundaannya. Saya pikir, mungkin persoalan kesiapan saja. Di Amerika, Jassin seperti mengalami retardasi atas apa yang ia saksikan di sana.
“Hasil perjalanan saya ke Amerika saya rasa tidak banyak, malah pulang-pulang saya merasa lemah dan tak berdaya suatu apa. Ini disebabkan karena jauhnya perbedaan kemajuan yang sudah dicapai di negeri orang sana dan kelambanan yang makin memberat juga di negeri kita.”
Jassin tentu mengabarkan hal ini kepada Subagio. Mengapa Jassin mesti memberitahukan hal ini pada Subagio? Dugaan saya, mungkin hal ini ada kaitannya dengan keinginan Subagio yang juga ingin menimba ilmu di luar Indonesia, semacam berbagi kegelisahan pada Subagio.
Apakah sepulangnya Jassin dari Amerika melakukan perubahan dalam dunia kesusastraan di Indonesia?
Lagi-lagi tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini di surat-surat Jassin untuk Subagio. Di kemudian hari, Jassin cukup senang atas berita keberangkatan Subagio ke luar negeri untuk melanjutkan studinya.
  • Surat untuk S. Takdir Alisjahbana
Dari seluruh surat-surat (Surat-Surat 1943-1983) Jassin, hanya surat untuk Sutan Takdir Alisjahbana (tanggal 8 Januari 1968) yang dimulai dengan kalimat pembuka Engku Takdir. Engku terasa khusus dalam surat ini, beda dengan penyebutan saudara (diteruskan dengan nama penerima) atau yang langsung menyebutkan nama penerima surat (diteruskan dengan sifat seseorang). Engku seperti menegasikan adanya kesamaan derajat. Dalam KBBI, Engku adalah sebutan terhadap keluarga raja atau sapaan untuk orang yang dihormati. Adakah S. Takdir Alisjahbana adalah seorang keturunan Raja?
Pamusuk Eneste dalam pengatar Surat-Surat 1943-1983, menceritakan jika Jassin begitu mengagumi S. Takdir Alisjahbana. Ia menuliskan begini:
“…setamat dari HBS, Jassin meninggalkan Medan. Tetapi ia tidak langsung ke Gorontalo -kampung halamannya-, melainkan singgah dahulu di Jakarta. Di Jakarta Jassin menemui S. Takdir Alisjahbana, salah seorang pengarang yang dikaguminya saat itu. Kami ngobrol lama sekali, mengenai kesusastraan, bahasa, kebudayaan, dan sebagainya, Tutur Jassin.”
Pengaruh S. Takdir Alisjahbana yang nampak di buku Surat-Surat 1943-1983, adalah surat ajakan kepada Jassin untuk bekerja di Balai Pustaka. Andaikata S. Takdir Alisjahbana tidak mengiriminya surat, mungkin Jassin tetap berada di Gorontalo. Adakah pengaruh lain? Mungkin saja, mengingat S. Takdir Alisjahbana adalah pengarang handal kala itu, dan Jassin adalah seorang anak yang tumbuh dewasa dari sekumpulan buku-buku karangan. Adakah Jassin menyukai karangan-karangan S. Takdir Alisjahbana?
Kemungkinan lainnya, adalah semangat provinsialisme. Di tahun-tahun itu, Jassin bersekolah di HBS Medan, dan tahun itu merupakan masa-masa pengagungan kedaerahan. Jadi Jassin yang bersekolah di Medan, Sumatera dan S. Takdir Alisjahbana adalah orang Sumatera, maka keduanya memiliki kedekatan emosional? Tentu ini masih butuh penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui kebenaran informasi ini.
Surat Jassin kepada S. Takdir Alisjahbana, berisi keinginan Jassin untuk menerbitkan tulisan-tulisan S. Takdir Alisjahbana.
“Apakah tidak ada pikiran Engku Takdir untuk menerbitkan kumpulan semua tulisannya sejak dari zaman Jong Sumatra dulu? Saya kira sudah sepantasnya.”
Selebihnya hanya membicarakan kepergian almarhum Sanusi Pane yang dimakamkan di Karet, dan keinginan menerbitkan tulisan-tulisan almarhum yang sedang dikerjakan oleh J.U. Nasution atas saran dari Jassin. Selain itu, isi surat juga membicarakan soal Samiati dan Tengku Tahura Amir Hamzah.
Yang masih membuat saya penasaran adalah: Adakah S. Takdir Alisjahbana begitu berpengaruh dalam hidup Jassin? dan apakah Jassin juga berguru pada S.Takdir Alisjahbana sebagaimana ia berguru pada Armijn Pane?

-------
Book Review: 
Jassin, H.B., 1984, Surat-Surat 1943-1983, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan