Surat-Surat Jassin [3]

Pada tahun 1895 di Belgia, Paul Otlet dan Henri la Fontaine pertama kali memperkenalkan istilah dokumen. Keduanya menggunakan istilah document sebagai bentuk dari aktivitas pencatatan setiap buku yang akan diterbitkan kala itu.
Secara harfiah, dokumen berasal dari bahasa Latin, docere atau documentum yang berarti mengajar atau pelajaran. W.J.S. Poerwadarminta di Kamus Umum Bahasa Indonesia (2007) menuliskan, dokumen adalah sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian), sedangkan untuk aktivitas pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keterangan (seperti kutipan-kutipan dari surat kabar dan gambar-gambar) disebut sebagai dokumentasi.
Sederhananya seperti ini, dokumen dikategorikan sebagai kata benda, sedang aktivitasnya adalah medokumentasikan.
Mengenai bidang pendokumentasian di Indonesia, tidak banyak manusia Indonesia yang serius menggeluti bidang ini. Satu dari sekian manusia langka itu adalah Hans Bague Jassin. Ia adalah seorang dokumentalis ulung, kritikus sastra, sekaligus redaktur buku dan majalah.

Dokumentasi sebagai Jalan Pengabdian

Kecintaan Jassin terhadap bidang dokumentasi tergambar jelas dari rekam jejaknya. Baik kehidupan di masa kecilnya, maupun rekam jejak karir kehidupannya yang banyak bergelut di lembaga penerbitan buku, majalah sastra, dan budaya.
Awal perjalanan karier Jassin dimulai dari tanah kelahirannya, Gorontalo. Ia bekerja sebagai ambtenaar di Kantor Asisten Residen Gorontalo. Selama lima bulan ia bekerja di sana, terhitung dari bulan Agustus hingga Desember 1939. Ia sempat mengeluhkan, bekerja tapi tidak diupah sepeser pun. Apakah pada waktu itu pihak Hindia Belanda sedang mempekerjakan relawan (volunteer)? Boleh jadi, sebab istilah volunteer sudah diperkenalkan Belanda pada waktu itu. Namun, sejatinya pihak Hindia Belanda memang pelit untuk urusan mengeluarkan duit.
Tetapi, ada hikmah di balik kejadian itu, dan begitu disyukuri oleh Jassin. Pamusuk Eneste yang sempat mewawancarai Jassin, mengakui kalau mendapat manfaat selama bekerja sebagai ambtenaar di Gorontalo, walau tanpa digaji sepeser pun. Manfaat apa yang diperoleh Jassin? “Dia berkesempatan mempelajari bagaimana membuat suatu dokumentasi yang baik. Jassin banyak belajar dari Pemerintah Hindia Belanda.”
Ihwal dokumentasi, Pemerintah Hindia Belanda memang ahlinya. Bukti kehebatan Pemerintah Hindia Belanda bisa ditelusuri dari cara mereka memperlakukan arsip-arsip, benda-benda, bahkan karya-karya sastra kuno yang masih terawat dengan rapi di negerinya.
Selepas dari Gorontalo, tanggal 1 Februari 1940, Jassin akhirnya memenuhi ajakan kerja dari S. Takdir Alisjahbana. Ia diterima bekerja di Balai Pustaka, Jakarta. Sejak saat itu, dokumentasi mulai jadi hal yang penting di mata Jassin.
Terhitung dari tahun 1940 hingga tahun 1947, Jassin bekerja di Balai Pustaka. Selama tujuh tahun itu Jassin jarang membicarakan Balai Pustaka di dalam isi surat-suratnya. Bahkan, dalam buku Surat-Surat 1943-1983, tak ada surat-surat Jassin yang mengabarkan soal awal-awal karirnya di Balai Pustaka, barulah menjelang akhir karirnya kemudian surat-suratnya yang membahas Balai Pustaka bermunculan.
Misalnya di surat tanggal 1 Januari 1947, kepada Aoh K. Hadimadja. Dugaan saya, surat itu dibaca dengan suka cita oleh Aoh, sebab memuat berita yang menggembirakan. Saudara Aoh baru saja memenangkan hadiah pertama untuk kategori syair terbaik majalah Panca Raya Tahun I, nomor 1 – 24. Bukan hanya Aoh saja yang bersuka cita, curiga saya Jassin pun demikian. Mengapa? Saya menemukan ada banyak kalimat-kalimat harapan dalam surat ini, seperti dalam satu paragraf kalimat di bawah ini:
“Saya kira akan ada pertanyaan mengapa hanya pengarang dalam Panca Raya saja yang diberi hadiah, dan hadiah tidak disediakan buat karangan yang sebaik-baiknya dari segala majalah di seluruh Indonesia. Usaha Balai Pustaka yang pertama ini memang dimaksud akan diperluas nanti dan pasti tahun-tahun yang akan datang karangan-karangan akan dipilih dari sekalian majalah dan surat kabar di seluruh Indonesia. Di dalam tahun yang pertama ini kami belum lagi mempunyai overzicht yang nyata, dan yang ada kelihatan hanya ruwet dan belum bisa dikemukakan. Tahun-tahun yang akan datang bisa diharapkan majalah-majalah akan tambah berhati-hati dan lebih mendalam memilih karangan-karangan yang dimasukkan dan sudah tentu bisa pula diharapkan bahwa pengarang-pengarang akan lebih mendalam di dalam karangan-karangannya.”
Kalimat-kalimat di atas merupakan suatu bentuk rasa suka cita, khusus atas pencapaian yang telah dan akan diraih oleh Balai Pustaka dan Kesusastraan Indonesia pada umumnya. Harapan merupakan kemauan yang terbaik dari setiap rapalan kalimat doa-doa. Seperti ucapan Sapardi Djoko Damono, "Aku mencintaimu itu sebabnya Aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu".
Secepat apapun cahaya, gelap akan menunggunya. Begitupun harapan-harapan Jassin dalam surat berikutnya kepada Aoh, berakhir dengan kegagalan. Krisis politik di Indonesia, Belanda kembali menguasai tanah air. Jakarta telah jatuh ke tangan penjajah. Ibukota dipindah ke Ngayogyakarta. Nasib Panca Raya tidak berumur panjang. Balai Pustaka kelimpungan mencari ongkos penerbitan.
Dalam satu surat yang lain pada Aoh, tertanggal 16 Agustus 1947, kenyataan terberat yang mesti dihadapi oleh Balai Pustaka adalah ditinggal karyawan. Dari 600 orang karyawan hanya 6 orang yang masuk. Malah konsekuensi terburuk sudah disiapkan oleh pemimpin kantor, menjadi tukang jualan pecel atau usaha-usaha lain, kalau perlu jual harta benda sampai habis. Saya menduga, Jassin lepas dari Balai Pustaka karena persoalan-persoalan tersebut, ditambah keengganannya berafiliasi dengan pihak Belanda dalam hal kerja sama melakukan usaha-usaha penerbitan.
Berpindah ke majalah Mimbar Indonesia (1947-1966), di bawah naungan penerbitan Yayasan Darma. Masa-masa akhir karir di Balai Pustaka, Jassin sudah ikut membantu secara diam-diam (belakang layar) dewan redaksi penerbitan majalah Mimbar Indonesia. Di surat tertanggal 25 Oktober 1947, Jassin meminta tulisan kepada Aoh K. Hadimadja untuk diterbitkan di Mimbar. Jassin bertanya:
“Apakah Saudara ada membuat cerita pendek atau sajak-sajak di masa belakangan ini? Kirimlah.”
Barulah selepas dari Balai Pustaka, Jassin secara terang-terangan mulai dimasukkan dalam jajaran Dewan Redaksi di bawah pimpinan Mr. Jusuf Wibisono. Saya menduga, Mimbar Indonesia adalah pelarian bagi Jassin dari kesewenang-wenangan Belanda. Di surat ini pula, tidak diterangkan secara detail alasan mengapa memilih Mimbar, tapi di kalimat pembuka surat ada kata ini: Merdeka. Kata pembuka ini sungguh unik, jika dibandingkan dengan semua surat-surat Jassin pada umumnya, yang menyebutkan nama penerima surat. Selain itu, ada kesan kalau Jassin sedang melakukan perlawanan, seperti kutipan dalam isi surat berikut ini:
“… bakal terbit sebuah majalah baru, bernama Mimbar Indonesia, yang diusahakan oleh 100% tenaga dan kapital Indonesia”.
Adakah Jassin sedang melakukan pemberontakan?
Selain Mimbar Indonesia, sebagai bentuk perlawanan terhadap pihak Belanda, Jassin juga mendirikan perkumpulan Zenith yang nantinya bertugas menerbitkan majalah Zenith (1951-1954) sebagai lanjutan dari majalah Panca Raya yang dianggap telah gagal. Setelah Zenith, muncul majalah Bahasa & Budaya (1952-1963); Kisah (1953-1956); Seni (1955); Sastra (1961-1964) yang berlanjut hingga ke tahun 1967-1969; dan terakhir, Horison, yang dimulainya sejak tahun 1966.
Kerja-kerja dokumentasi tak pernah lepas dari perhatian Jassin. Lepas dari satu majalah, ia kemudian beralih ke majalah lain. Puncak dari pengabdiannya dalam bidang dokumentasi ialah dengan mendirikan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Apa makna dokumentasi bagi Jassin? Dan bagaimanakah pandangan Jassin terhadap dokumentasi?
Hal ini bisa kita ketahui dari tulisan Pamusuk Eneste. Bagi Jassin, menyia-nyiakan hasil karya kita berarti menyia-nyiakan kehidupan kita, sejarah kita, masa silam, masa sekarang, masa depan kita. Selain itu, Jassin memandang bahwa dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam, dan memperluasnya. Sungguh begitu penting ikhwal dokumentasi bagi perjalanan hidup Jassin.
Jika ada yang tanya, siapa H.B. Jassin? Maka jawablah: "Dia Paus Sastra Indonesia".

*Tulisan ini (Surat-Surat Jassin 1, 2, dan 3) pernah diikutsertakan dalam peringatan 100 tahun H.B. Jassin. Dilaksanakan oleh Majalah Basis bekerjasama dengan Bilik Literasi Solo. Tulisan ini juga sudah dipublikasikan di Medium. Rujukan tulisan ini sepenuhnya bersumber dari buku H.B. Jassin, Surat-Surat 1943–1983 (Gramedia, 1984).

-------
Book Review: 
Jassin, H.B., 1984, Surat-Surat 1943-1983, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan