Surat-Surat Jassin [1]

“Hidup dalam kenangan kadang-kadang menggugah perasaan-perasaan yang paling dalam, dan merupakan inspirasi yang kaya.”
Sepenggal pesan dari H.B. Jassin kepada N.H. Dini dalam suatu suratnya, tanggal 26 Januari 1971. Jassin menyemangati Dini untuk terus mengembangkan bakat menulisnya, dan menginginkan dari tangan Dini, lahir sebuah roman besar dalam dunia sastra Indonesia.
Siapa sebenarnya Jassin? Dan apa peranan Jassin dalam kesusastraan Indonesia?
Untuk itu, saya patut menyelidiki surat-surat Jassin yang dipublikasikan dalam buku Surat-Surat 1943-1983, terbitan Gramedia (1984).

Sikap dan Laku Seorang Jassin

Hans Bague Jassin lahir di Gorontalo, 31 Juli 1917. Lahir dari pasangan (Ayah) Bague Mantu Jassin dan (Ibu) Habiba Jau. Ayahnya adalah seorang kolektor dan pecinta buku. Punya perpustakaan (dokumentasi) pribadi. Sejak kecil, ayahnya sudah mengenalkan Jassin pada buku-buku.
Dalam pengantar buku Surat-Surat 1943-1983, Pamusuk Eneste menarasikan satu kejadian unik.
“Pada suatu waktu, Jassin jatuh sakit dan ayahnya bertanya: mau dibelikan apa? Saking cintanya pada buku, Jassin menjawab dengan spontan: Buku!”
Dari uraian Pamusuk, kita bisa mengetahui kecintaan Jassin pada buku. Kuat dugaan, Jassin tumbuh dengan sifat kecintaannya terhadap buku-buku ayahnya. Mungkin ini ada hubungannya dengan gen terkait yang diwarisi dari sifat ayahnya. Namun yang mesti dipertegas, sejak kapan kecintaan itu berubah menjadi kecintaan mendokumentasikan karya?
Nah, untuk mengetahui hal ini, bisa dibaca dalam tulisan Pamusuk berikut ini:
“Jika ada yang mengira bahwa Jassin baru mulai tertarik pada dokumentasi sastra sejak tahun 1940, pastilah orang itu salah. Jauh sebelum itu, Jassin sudah jatuh cinta pada dokumentasi. Sebenarnya, sudah sejak duduk di HIS Balikpapan (1927-1929) Jassin tertarik pada dokumentasi. Sejak itu, ia sudah menyimpan buku-bukunya dengan teratur dan rapi. Kecintaan itu berlanjut hingga ke Medan. Sewaktu Jassin melanjutkan pendidikannya di HBS Medan (1932-1939).”
Jassin sudah sejak dahulu menempa dirinya menjadi seorang dokumentalis. Hal ini banyak dipengaruhi dari kehidupan masa kecilnya. Pengaruh itu pula yang membentuk kepribadian diri hingga laku sosial seorang Jassin.
Agus R. Sarjono dalam sebuah rekaman video, membeberkan informasi bahwa Jassin punya keuletan dan ketelatenan dalam mendokumentasikan sastra. Selain dua sikap tersebut, sikap lain yang juga patut dipuji dari seorang Jassin, adalah kesiapan dirinya untuk jadi martir demi melindungi kebenaran yang ia yakini.
Kepribadian Jassin didorong oleh suatu kekuatan, yakni keuletan tekad. Bagian ini sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kecil Jassin. Seperti proses mengumpulkan dan menyimpan buku-buku yang telah dilakoninya sejak di Balikpapan, butuh keuletan tekad untuk melakoni hal itu. Sedang ketelatenan Jassin, diperoleh dari kesabarannya membaca dan menganalisa karya-karya yang masuk ke meja redaktur.
Jika menelusuri rekam jejak Jassin, maka bisa kita temukan bahwa hampir semua majalah sastra dan budaya terkemuka pernah diredakturi oleh Jassin. Bisa dibayangkan, bagaimana sikap keuletan dan ketelatenan itu berperan besar dalam laku keseharian Jassin, baik dalam mengumpulkan maupun membaca karya-karya yang masuk ke meja redaksi. Dari kumpulan bacaan itulah, kemudian kritik-kritik sastranya lahir.
Kritik sastra yang dibangun oleh Jassin jelas berbeda dari kritik sastra pada umumnya. Jassin lebih mengedepankan pendekatan edukatif dan apresiatif dalam menganalisa karya sastra. Jassin mencoba lepas dari bangunan teori-teori sastra, baik yang sedang berkembang di Indonesia maupun yang sudah mapan di Eropa dan Amerika saat itu. Jassin terkadang bisa jadi tutor (peran edukatif) bagi pengarang-pengarang yang karyanya ditolak untuk diterbitkan, sedang di sisi lain ia bisa juga menjadi seorang apresiator (peran apresiatif) bagi karya-karya yang layak untuk diterbitkan.
Salah satu surat Jassin yang mengutarakan kritik pernah dialamatkan kepada Amal Hamzah. Surat bertanggal 14 Februari 1944. Di kalimat pembuka surat, Jassin menyapa dengan perasaan gembira, “Senang saya dengan karangan Saudara itu”. Lalu kemudian menyambungnya dengan ucapan yang pedas, “Pada bacaan yang pertama, terasa hambar dan kasar. Tidak sesuai dengan Amal yang bercinta dan berkasih sayang. Pada bacaan yang kedua kelihatan Amal yang pintar pula membenci dan mengejek…”. Saya membayangkan, Amal tersenyum membaca penggalan awal kalimat surat itu, lalu mimik wajahnya berubah memerah seperti tungku besi yang dipanaskan.
Di surat yang lain, Jassin juga mengomentari sajak dari Sjamsul Arifin, tertanggal 25 Desember 1960. Ada beberapa hal yang ditanggapi serius oleh Jassin. Misalnya kata kiasan dalam sajak Sjamsul: “sorga paling dalam”. Bagi Jassin, jika mau berpandangan tradisional, maka surga itu ada di langit. Sukar bagi Jassin menerima kalau surga berada di dalam tanah. Jassin pun bertanya balik pada Sjamsul, “di mana Saudara tempatkan Neraka?”. Bukan hanya itu, Jassin juga mempertanyakan “duka” yang diibaratkan oleh Sjamsul seperti “api menyala”. Bagi Jassin, “api menyala” adalah bayangan nafsu, kegembiraan, bukan duka apalagi kesedihan.
Satu sikap yang juga patut dipuji dari seorang Jassin adalah “siap jadi martir” demi melindungi kebenaran yang diyakininya. Ia seperti Sokrates yang rela meneguk segelas racun demi membuktikan kebenaran yang ia yakini. Banyak orang yang beranggapan, jika Jassin seorang yang kukuh pendiriannya. Namun, apakah benar Jassin seperti itu dalam mempertahankan prinsipnya?
Dalam salah satu suratnya, ditujukan kepada Amal Hamzah, tertanggal 21 Oktober 1943. Jassin nampak melakukan pembelaan atas tuduhan Amal Hamzah yang memandang sikap hidup Jassin “yang membiarkan semua”, bahkan mungkin menganggap Jassin seperti bunglon, berubah-ubah sesuai dengan kondisi.
“Orang yang menentang saya mengatakan saya pelemah. Tapi dalam buku kamus penghidupan saya, saya penyabar. Sabar terhadap semua. Sikap hidup saya ini ialah sikap hidup orang Cina, kalau saya dapat berpegang pada pembagian Duyvendak, seperti diterangkannya dalam China tegen de westerkim. Yaitu sikap hidup yang menerima segala dan menyesuaikan diri dengan segala, biarpun yang jelek dan tidak enak. Dengan perkataan yang tidak enak, tapi bagi saya tidak berarti: sikap bunglon. Tapi bunglon yang berpikir dan mengerti kedudukannya dan kedudukan sekelilingnya di atas dunia. Bagaimanakah saya sampai menjadi bunglon ini? Dari kecil sudah ada pembawaan. Tapi sikap hidup saya itu saya dapat dengan perjuangan juga, perjuangan yang sampai sekarang masih berlaku dalam saya hendak menetapi sikap hidup saya itu. Saya sebut sikap hidup saya tadi itu kesabaran.”
Bagi saya, keuletan tekad dan ketelatenan membaca yang dimiliki oleh Jassin, membuatnya memiliki prinsip hidup yang tak mudah untuk digoyahkan. Hal ini yang membentuk kesadaran dirinya. Dia seorang yang sadar dalam mengambil tindakan. Dalam kesadaran, barang tentu ada proses pemilahan sikap, pemilahan ini yang butuh kesabaran.
Kasus lain yang meneguhkan kekukuhannya, bisa kita amati dari sikapnya yang siap jadi tameng bagi Ki Pandji Kusmin atas isi cerpennya: Langit Makin Mendung (LMM). Dalam buku Pleidoi Sastra Kontroversi Cerpen LMM Ki Pandji Kusmin, yang dieditori oleh Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani, dikisahkan kalau Jassin dihadapkan ke “meja hijau” sebagai orang yang bertanggung jawab atas terbitnya cerpen LMM di majalah Sastra edisi Agustus 1968. Demi menjaga keyakinannya, di pengadilan, Jassin tak sekalipun mengungkapkan identitas Ki Pandji Kusmin yang sebenarnya, bahkan kepada istrinya pun tak pernah ia beritahukan, sampai maut menjemputnya.
Dalam buku Surat-Surat 1943-1983, hanya ada dua surat Jassin yang membahas persoalan kontroversi cerpen LMM. Itupun dua surat ini hanya dibahas secara lugas, tidak diurai secara detail dan mendalam.
Pertama, surat untuk Ahmad Rachman, tiga bulan setelah terbitnya cerpen LMM di majalah Sastra, dan surat untuk Andre Hardjana di tanggal 7 Agustus tahun 1970.
Di surat yang pertama, tertanggal 28 November 1968. Jassin meminta maaf atas keterlambatannya membalas surat-surat Ahmad Rachman. Jassin menerangkan jika dirinya sedang ditimpa masalah. Saya curiga, itu soal cerpen LMM. “Saudara Ahmad Rachman yang baik, harap dimaafkan, oleh pekerjaan dan masalah-masalah yang timpa-menimpa saya tak sempat segera membalas surat Saudara dan membaca roman Saudara Tima Orima.”
Di surat yang kedua, Jassin secara terang-terangan menyebut nama Ki Pandji Kusmin. Dari semua surat yang ada di buku Surat-Surat 1943-1983, hanya surat untuk Andre Hardjana saja yang menyebutkan nama Ki Pandji Kusmin. Dalam isi suratnya tertulis seperti ini:
“Tentu Saudara baca di koran-koran, sesudah wawancaranya dalam ekspres, orang ingin supaya Kipanjikusmin tampil ke depan. Tapi saya bertekad akan terus memikul tanggung jawab. Kipanjikusmin tidak akan membuka aspek-aspek baru dalam masalah ini.”
Adakah sikap dan laku seorang Jassin membekas dikeseharian kita?

-------
Book Review: 
Jassin, H.B., 1984, Surat-Surat 1943-1983, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan