Pasar dan Buku

medium.com

Peran pasar selain sebagai tempat aktivitas jual-beli, juga merupakan tempat mencipta gerak, cinta, kasih dan kebudayaan (Qibtiyatul, Santapan Selera, 2016:35). Pasar bisa dijadikan sebagai ruang gerak, olah tubuh. Pasar bisa menciptakan ikatan cinta dan kasih, sesama penjual dan pembeli, penjual dan penjual, maupun pembeli dan pembeli, mereka pula bisa bertukar informasi, sebagai manusia yang berbudaya.
Kemajuan pasar, bisa dimaknai sebagai kemajuan kebudayaan. Pasar mampu mempertemukan manusia dari berbagai golongan, suku, dan agama. Pasar mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik ragawi maupun jiwanya.
Asupan ragawi paling dominan menguasai pasar, mulai dari jualan pakaian, makanan dan minuman, hingga peralatan rumah tangga. Asupan jiwa, hanya paling bantar di soal kesehatan dan literasi, itupun sifatnya momentum. 
Misalnya, soal kesehatan bisa kita saksikan pada keahlian retorika seorang penjual obat keliling. Sedangkan untuk soal literasi, sudah jarang sebenarnya kita menemukan aktifitasnya di pasar. Salah satu contoh, toko buku misalnya, apakah masih ada di pasar-pasar hari ini?
Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, masih ada beberapa pasar, yang masih menyediakan akses buku bacaan. Di Yogyakarta misalnya, beberapa toko buku masih eksis di kawasan pasar yang berada di wilayah Malioboro. Pun di Jakarta, semisal pasar kwitang, yang masih menjadi salah satu pusat buku-buku lawas.
Perkembangan pasar sejalan dengan kemajuan industri dan teknologi. Bahkan, wajah pasar yang dulunya “kumuh”, kini telah disulap sementereng mungkin. Bau amis ikan, kubangan air hujan, daging ayam dan sapi potong, sebisa mungkin tidak tercium.
Pasar sudah banyak mengalami perubahan, sama seperti apa yang dinarasikan oleh Koentjaraningrat, dalam bukunya Kebudayaan Jawa (1984), jika pasar tidak lagi buka sekali-seminggu. Intensitas pasar sekarang ini, sangat pesat. Pasar tidak lagi mengenal hari pasar, seperti “pasar senin”, “pasar rabu”, atau “pasar minggu”. Sebagai dampak kemajuan industri dan teknologi, pasar tidak lagi mengenal waktu dan tempat.
Peran pasar sebagai tempat aktivitas jual-beli bagi penjual dan pembeli, juga mulai mendapat saingan berat dari saudara asingnya: mal. Dengan modal yang mapan, mal-mal hadir di tengah kota, mengajak bersaing pasar-pasar tradisional. Dengan bangunan yang megah, ruang belanja yang nyaman, dan didukung oleh peralatan-peralatan canggih yang memanjakan pengunjungnya, membuat pasar semakin tertinggal. Aktivitas mal perlahan-lahan mengubur perjalanan panjang cerita tentang pasar.
Di pasar, toko buku, bukan lagi tempat yang menguntungkan untuk menjual buku. Pamor toko buku kalah saing dengan urusan mode dan kuliner. Kini, buku seperti asing di telinga penjual dan pembeli. Buku tidak lagi mendapat tempat di rumahnya, dan pasar telah kehilangan bagian terbaiknya.
Bukan hanya di pasar, di mal pun seperti itu. Di mal-mal, hampir semua toko-toko buku biasa di taruh di tingkat paling atas gedung mal. Untuk sampai di toko buku itu, mesti melewati berbagai lapakan, mulai dari lapak jajanan, pakaian, tas, alat rumah tangga, showroom kendaraan, salon, alat kebugaran dan games anak. Toko buku, seperti pelengkap saja, ada atau tidak ada, tidak menjadi masalah. Tidak penting bukan?

*Tulisan ini pernah dimuat di Orazine

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan