Kegeniusan di Athena

greece.gr

James Clerk Maxwell, seorang ahli fisika dari Skotlandia, menemukan suatu hubungan antara kesadaran akan ketidaktahuan dengan kreativitas. Menurutnya, semakin orang-orang memiliki kesadaran penuh akan ketidaktahuan, maka orang itu akan lebih mampu melakukan terobosan kreatif ketimbang orang yang merasa yakin sudah mengetahui segalanya.
Mungkin kita pernah mengalami sebuah keberhasilan yang kita tidak duga sebelumnya. Kita lalui saja hambatan dalam meraih keberhasilan itu, seakan tidak mengetahui kalau ada hambatan-hambatan. Orang semacam ini bukanlah orang yang beruntung, mungkin bukan juga seorang pemberani, tetapi bisa jadi ia adalah seorang yang kreatif.
Orang kreatif dipengaruhi oleh nalar divergen. Mencoba saja segala kemungkinan tanpa mesti mempertimbangkan tingkat keberhasilannya. Ia bukan orang yang fokus, mesti menetapkan beberapa kemungkinan strategi sebelum menghadapi berbagai hambatan.
Hal ini pernah dilakukan oleh Thomas Alfa Edison. Di usianya yang masih kanak-kanak, Ia mencoba mengerami telur ayam, dan menyampaikan kepada sahabatnya, Mary—yang merasa kalau telur itu tidak mungkin bisa menetas—, kalau saya belum mencobanya, bagaimana saya bisa tahu ia akan menetas atau tidak?
Kebiasaan inilah yang membuat Thomas kecil, tumbuh sebagai seorang dewasa yang tidak tahu apa itu kegagalan. Dan sejarah akhirnya mencatat namanya, sebagai seorang penemu penting yang pernah singgah di Bumi.
Kreativitas sangat erat hubungannya dengan kegeniusan. Eric Weiner, seorang penulis yang mencari keberadaan “tempat-tempat genius”, menemukan tempat awal kegeniusan itu berada di Athena, tetapi bukan Athena yang sekarang ini yang sedang dilanda krisis ekonomi. Namun, di sebuah kota lampau, disebut kota polis di masa Yunani Kuno, tempat para filsuf bersemayam.
Di kota Athena, Eric menelusuri jejak kegeniusan para filsuf. Menemukan beberapa rangkaian yang putus dari masa lampau. Salah satu fakta kegeniusan yang ia temukan adalah “orang-orang Athena suka berjalan kaki”. Orang Athena hanya menghabiskan sekitar tiga puluh menit di rumah, hanya untuk urusan seksualitas saja, selebihnya mereka di luar, berjalan dan terus berjalan. Dan temuan terbaru telah membuktikan, orang yang lebih banyak berjalan lebih kreatif ketimbang orang yang hanya berdiam diri saja di rumah.
Dikutip dari laman Tirto.id, berdasarkan penelusuran hasil penelitian Stanford University Graduate School of Education, Oppezo dan Daniel L. Schwartz menemukan fakta, jika jalan-jalan dapat meningkatkan daya kreativitas seseorang. Bahkan, keduanya menyarankan jika kesulitan merumuskan ide-ide; menyelesaikan pekerjaan; dan merampungkan tulisan, maka: berjalanlah!
Orang-orang Athena berjalan dan terus berjalan, tanpa ia ketahui mengapa ia harus berjalan. Seperti ketidaktahuan Socrates, kalau ia mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Sebagian orang menganggapnya itu sebagai suatu sikap yang bijaksana, tetapi sebagian lain menganggap jika ada kelainan neurologi: disebut anosognosia. Apakah Socrates mengidap anosognosia?
Istilah anosognosia diberikan oleh seorang neurolog asal Paris Prancis, Joseph Babinski. Anosognosia adalah keadaan di mana seseorang mengalami kecacatan, biasanya kelumpuhan, tetapi tidak menyadari jika dirinya cacat. David Dunning dan Justin Kruger, psikolog dari Cornell University, mengadakan penelitian terhadap penggunaan anosognosia secara metaforis terhadap suatu keadaan: ketidaktahuan menilai kompetensi diri. Penelitiannya menemukan hasil bahwa orang-orang yang merasa dirinya mampu mengetahui suatu hal ternyata malah berbanding terbalik dengan pengetahuannya itu. Bagi Dunning, orang tersebut tidak berusaha menipu diri, mereka hanya tidak mampu menilai kompetensi dirinya saja. Dunning menyederhanakan hal itu, bahwa kita tidak begitu pandai dalam mengetahui apa yang tidak kita ketahui.
Hubungan kreativitas dan kegeniusan, didorong oleh suatu keadaan yang tidak kita ketahui, tidak kita perkirakan, semacam probabilitas saja, berjalan saja, mengalir saja. Keadaan ini membuat kata "kegagalan" hilang dari kamus kehidupan, lenyap ditelan ketidaktahuan. Orang-orang genius pada masanya telah melakukan itu, mereka sepertinya tidak memahami arti kegagalan, sebagaimana Socrates: ia tahu bahwa ia tidak mengetahui apa-apa.
Apakah Socrates mengalami kegagalan dalam percobaan kreativitasnya? Apakah Socrates tidak tahu jika mempertanyakan adanya dewa dan menyesatkan pemikiran anak muda di Athena adalah kejahatan?
Namun, satu hal yang mungkin Socrates ketahui, atau mungkin ia pernah duga, jika dirinya akan berakhir dengan cara meminum racun. Demi kebenaran, ia tetap memilih meminum racun, ketimbang harus beranjak meninggalkan Athena sebagaimana filsuf lain sejamannya yang minggat dari kota. Ia mungkin tahu konsekuensi meminum racun itu, tetapi Ia tidak mengetahui jika dirinya sedang mengawali suatu keberhasilan, yang sudah barang tentu telah memupus kegagalan. Keberhasilan mengukir sebuah era baru: era kebebasan berfikir manusia.
Sebelum Socrates meminum hemlock, ia berpesan pada pengikutnya. Aku meminta kalian memikirkan kebenaran dan bukan memikirkan Socrates, sepertinya kalimat terakhir dari Socrates ini bisa kita renungi sambil bertanya “mengapa?”, jika itu terjadi, sebagaimana ucapan Eric Weiner, maka kita sedang mengalami momen Yunani atau Athena; momen kegeniusan.

-------
Book Review: 
Weiner, Eric., 2016, The Geography of Genius, diterbitkan oleh Qanita Mizan Pustaka.

Comments

Popular posts from this blog

Kisah Pemimpin yang Kuasanya Melebihi Sejauh Mata Memandang

Setelah Soeharto Lengser*

Jeneponto: Sepeda dan Kesetaraan